15 Musisi dari Sembilan Kota di Indonesia Suarakan Krisis Iklim di Ubud

Bagikan

GIANYAR – Peningkatan suhu global, kenaikan permukaan air laut, dan semakin seringnya bencana alam yang terjadi di Indonesia menggugah 15 musisi menyuarakan krisis iklim lewat musik. Diantaranya Efek Rumah Kaca, Petra Sihombing, Voice of Baceprot (VOB), dan Musisi dari 9 kota di berbagai penjuru Indonesia menyuarakan krisis iklim ini dengan meluncurkan sonic/panic Vol. 2. Sebuah album kompilasi yang melibatkan musisi dari berbagai genre. Album ini digagas oleh inisiatif IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts, and Music Lab) dan dirilis oleh Alarm Records, label rekaman sadar lingkungan pertama di Indonesia. Untuk merayakan peluncuran album ini, juga akan diselenggarakan IKLIM Fest pada Sabtu (9/11/2024) di Biji World, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Tahun ini, sonic/panic Vol. 2 menghadirkan 15 trek, yang mana setiap karya mencerminkan kepedulian mendalam terhadap krisis iklim dan mengajak pendengar untuk turut serta dalammelakukan aksi nyata. Musisi yang terlibat meliputi Efek Rumah Kaca, Petra Sihombing, Voice of Baceprot, Asteriska, Matter Mos, Bsar, Daniel Rumbekwan, Bachoxs, Down For Life, Jangar, LAS!, Poker Mustache, Rhosy Snap, The Vondallz, dan Wake Up Iris!. Para musisi ini berasal dari sembilan kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Makassar, Pontianak, Madiun, Malang, Bandung, Solo, Fakfak, dan Denpasar, memperkuat pesan keberagaman dalam gerakan ini. Sebagai kolektif musisi dan seniman yang peduli terhadap isu iklim, IKLIM bertujuan untuk menyatukan seni, musik, dan aktivisme lingkungan. Album kompilasi sonic/panic Vol. 2 diharapkan dapat mendorong aksi nyata masyarakat serta mengajak industri musik untuk menerapkan praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan. Musisi yang terlibat di inisiatif ini percaya bahwa musik memiliki kekuatan untuk menjangkau berbagai kalangan, menyentuhemosi, menciptakan ruang untuk refleksi, dan mendorong aksi nyata. Mereka dipersatukan oleh kepedulian mereka terhadap masa depan bumi. Jika tahun lalu perekrutan musisi dilakukan secara tertutup, tahun ini IKLIM mengadakan panggilan terbuka untuk merangkul musisi dari berbagai genre dan latar belakang.

Langkah ini diambil untuk memastikan pesan yang disampaikan dapat menjangkau masyarakat lebih luas, dari komunitas lokal hingga nasional, sehingga memperkuat gerakan kolektif dalam menyuarakanisu krisis iklim.

Gede Robi Supriyanto Co Founder Music Declares Emergency Indonesia mengatakan bahwa media yang paling efisien yang bisa digunakan untuk menyentuh hati khayalak luas adalah seni. Khususnya melalui seni musik, pesan-pesan tentang isu lingkungan dapat disebarluaskan.

“Setiap generasi punya revolusinya sendiri-sendiri, mereka taruh hatinya untuk berkarya. Di generasi kita, kita ingin menjaga fine art, setiap generasi punya masalah-masalah sendiri. Issue kita jaman sekarang semakin kompleks, fine art redefenisikan dengan impact sosial lingkungan. Yang bisa kita sharing disini adalah musik lebih dari produk industri. Kita mau ini ada di level kebijakan,” ujarnya.

Iklim Fest 2024 diharapkan mampu menjadi event tahunan dan menjadi wadah seniman untuk menyampaikan keluhan mengenai isu khususnya mengenai iklim. “Industri musik di Indonesia cukup besar, kita harus peduli. Permasalahan lingkungan juga cukup besar, kita sebagai seniman peduli dengan isu ini karena permasalahan iklim ini sangat besar,” ucapnya.

Bob, vokalis band LAS!, mengungkapkan, selama ini, band-nya sudah seringmenyuarakan tentang krisis iklim dan perjuangan masyarakat adat Kalimantan Barat melalui lagu-lagu dan kampanye. “Bergabung dalam gerakan ini, bersama dengan musisi-musisihebat lainnya yang memiliki visi serupa, memberikan kesempatan untuk memperkuat dan mengamplifikasi pesan kolektif kami. Dengan begitu, kami berharap pesan ini bisamenjangkau lebih banyak orang dan mendorong mereka untuk mengambil aksi nyata demi masa depan bumi,” ujarnya.

Bulan Juli lalu, para musisi ini berpartisipasi dalam lokakarya bersama organisasi lingkungan, pakar iklim, dan musisi yang terlibat dalam inisiatif IKLIM tahun lalu. Banyak dari mereka merasa tersentak oleh kenyataan tentang dampak krisis iklim yang mereka pelajari, sehingga mendorong mereka untuk mengekspresikan kegelisahan mereka melalui musik. Asteriska membagikan pengalamannya selama mengikuti lokakarya. “Di awal workshop, saya merasa penuh dengan informasi dan data yang diterima. Namun, menjelang akhir, rasa semangat itu mulai tumbuh. Kita, sebagai musisi, bisa berjuang bersama-sama dan harus terus belajar dan tidak berhenti hanya di lima hari ini. Semoga apa yang kami pelajari selama workshop dapat diterima oleh pendengar, agar kita bisa belajar bersama sambil tetap menikmati musik yang akan kami ciptakan nantinya,” jelasnya.

Setelah lokakarya, para musisi memiliki waktu dua bulan untuk menciptakan karya musik yang mengangkat pesan kesadaran akan lingkungan dan krisis iklim. Lagu-lagu yang mereka hasilkan inilah yang kemudian dirangkum dalam album sonic/panic Vol. 2.

Matter Mos membagikan inspirasinya di balik lagu berjudul Pengusik. “Inspirasi saya muncul dari sebuah foto yang ditunjukkan Ramon Y Tungka, sebuah gambar tentang kerusakan alam yang pernah ia saksikan langsung. Foto itu menghadirkan perasaan mendalam dan terus terbayang selama saya menggarap lagu ini. Sebagai seniman, ada tanggung jawab untuk ‘melukis’ atau menangkap momen-momen tertentu dan menerjemahkannya dengan carakami sendiri,” ujar Mos.


Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *