Peran Majelis Desa Adat Sudah Salah Jalur

Bagikan

Bali Terkini – Anggota DPRD Bali, I Ketut Mandia mengkritisi peran Majelis Desa Adat (MDA) Bali sudah jauh menyimpang dari amanat perda no 4 tahun 2019 tentang Desa Adat Bali. Menurutnya MDA kini mulai menimbulkan sejumlah permasalahan dan bisa dibilang tidak tepat guna. Banyak kalangan berpendapat bahwa keberadaan MDA di Bali justru memperumit penyelesaian masalah adat yang ada. Dalam beberapa kasus, keputusan yang diambil tidak mencerminkan kepentingan masyarakat secara luas dan lebih sering terjebak dalam ranah kepentingan. “Banyak contoh kasus ngadegang bendesa adat yang masih bermasalah karena campur tangan MDA. Bahkan tidak sedikit warga adat menggelar demo ke kantor MDA. Ini menjadi tanda tanya besar jika MDA sedang tidak baik baik saja,” beber mandia, Rabo (2/10/2024) di Kantor DPRD Bali.

Mandia mencontohkan jika sejak dulu adat di Bali telah mengenal demokrasi. Pemilihan bendesa adat dilakukan dengan jalur pemilihan yang jujur dan adil atau bahkan dilakukan dengan sistem lekesan. Namun sekarang ini proses dilakukan dengan musyawarah. Cara ini justru akan menguntungkan kelompok tertentu dalam menentukan bendesa adat. “Tata cara ini sarat dengan istilah suryak siu, tidak mencerminkan proses demokrasi dan hak memilih masing masing krama adat,” tegas politisi asal Sente, Desa Pikat, kecamatan Dawan Klungkung ini.

Tidak hanya proses dalam pemilihan, dalam proses ngadegang atau penobatan bendesa terpilih juga tidak cukup dengan mejaye jaye di pura kayangan setempat. Bahkan Pelantikan bendesa adat sekarang ini harus dilantik oleh ketua MDA seolah olah MDA adalah pimpinan dari bendesa adat itu sendiri. Ini menurut Mandia sudah salah jalur, menurutnya bendesa adat hanya bertanggung jawab kepada ida sesuhunan kayangan tiga serta warga krama adat, bukan kepada MDA. “Kalau kehadiran MDA dalam proses pelantikan bendesa hanya sebagai upasaksi sangat masuk akal. Tapi jika melantik serta memberikan SK, itu sudah tidak benar,” ketusnya.

Ia berpendapat jika otonomi Desa Adat dikembalikan kepada desa adat itu sendiri. Mengingat masing masing wilayah memiliki cara atau dresta dalam mengatur wilayah dan awig awig mereka.

Banyak hal yang perlu dibenahi terkait keberadaan MDA sekarang ini. Jika dibandingkan dengan jamannya kepemimpinan Gubernur Mangku Pastika dengan nama MUDP, desa pekraman di jaman itu lebih independen serta memiliki roh dalam otonomi desa adat atau desa mawecara.

Saat itu menurut Mandia, Pemerintah Provinsi Bali sifatnya membina dan memberikan ruang sepenuhnya kepada Desa Adat sesuai dengan ciri khas mereka masing masing bukan seperti sekarang. Ia menilai ini bentuk intervensi MDA kepada Desa Adat melalui ikatan SK saat memberikan bantuan. “Saat ini Desa Adat dikooptasi hingga membuat Desa Adat tidak berdaya,” tegas politisi Partai Gerindra ini.

Tidak hanya itu, dana 14 milyar dana yang dikucurkan Pemprov untuk MDA per tahun yang diperutukkan sebagai honor serta mengoperasikan lembaga naungan MDA juga menurut Mandia sangat mubazir. Menurutnya dana sebanyak itu bisa dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau memperbanyak membangun sekolah untuk warga kurang mampu seperti sekolah Bali Mandara. (dev)


Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *